Elegi
Kasih, tak luput dari waktu yang tetap bergulir. Kuharap kelak kejamnya waktu tak menenggelamkan aksara yang pernah dibawa oleh malam kepadamu.
Tentang bagaimana bunga-bunga itu merasa malu dan seketika layu saat hadirmu terasa. Betapa segannya penjaga taman bunga itu berani berkata jikalau ini memang bukan musimnya untuk bersemi, bunga-bunga itu hanya malu akan keabadian dari senyummu.
Begitu pula risau hati saat api telah padam. Tapi apa kasih? Apa yang tega memadamkan api itu di saat ia sedang berkobar mengisi ruas tiap kehampaan yang tercipta karena jarak.
Atas dasar apa badai itu memiliki kuasa untuk menyeret itu semua menjauh? atau memang hanya kita yang memang terlahir sebagai dua insan individualis di waktu yang fana ini?
Tak apa kasih, mungkin memang bukan jalannya untuk dua aliran sungai yang tumpah ruah untuk bertemu pada satu hilir. Sebaba sejak hulu kita memang tak sebenarnya satu.
Cukup malam yang menjadi saksi, tentang bongkahan buah pikiran yang kerap bertamu.
Penuh harap dirimu selalu bahagia di sana kasih.
Kutitip pesan pada mereka yang tak pernah luput dari jarak pandangmu kasih, agar setidaknya aku sadar dirimu bahagia di sana. Bukan karena aku tak mampu, hanya saja apa daya padang ilalang berharap memiliki taman bunga yang indah. Kupu-kupu pun tak sudi untuk hinggap sejenak. Tetapi kita tak pernah tahu apa yang ada di perbatasan padang itu kasih. Mungkin hanya Tuhan yang tahu, atau mungkin sengaja tak dibuat agar tak ada kata kecewa yang menghiasi malam kelak.
Komentar
Posting Komentar