Wahai Kumulus, Menangislah!
Kini daun semakin menguning, gersang. Kemarau semakin terik, tak ada kabar lagi dari sang hujan. Mungkin ia lelah. Tak heran, angin pun enggan untuk singgah. Sang mentari terlalu menampakkan diri dan berusaha mendominasi. Sungguh indah mentari itu, lagi pula siapa orang bodoh yang tak ingin dihangatkan olehnya? Tetap saja, kita tak mungkin menyentuhnya. Tak selamanya hal yang indah itu bisa kita sentuh, sebab akan melukai kelak. Apa engkau ingin terpanggang kawan?
Betapa egonya sang mentari, ia tak menyediakan barang sedikit pun panggung untuk awan berdiri atau menampakkan dirinya. Awan-awan itu, ia tak dapat menangis lagi seperti dulunya. Jika diizinkan menebak, aku yakin ia ingin menangis seperti dulu lagi. Sungguh tak baik membendung ekspresi kawanku. Ekspresi ada untuk kita memperlihatkan kepada semesta emosi kita, agar semesta paham. Jangan membohongi diri untuk menutup emosimu kawanku, tak ada kebaikan di balik kebohongan. Emosi bukanlah udang yang ada di balik batu, mereka nyata apa adanya. Awan saja ingin menangis kembali seperti dahulu, dan tentunya ada banyak orang di luar sana menantinya kembali menangis agar kembali melihat keindahan dari pelangi yang menghibur sang awan kelak. Lalu mengapa kau berbohong kawanku?
Kebohongan yang dilandasi kata-kata manis seperti, "Berbohong DEMI Kebaikan". Jangan membuatku tertawa kawan. Tak pernah ada sesuatu yang baik terjadi dengan landasan kebohongan. Kebohongan itu ibarat engkau menutupi sebuah bangkai dengan dedaunan, cepat lambat angin akan hadir dan menghancurkan seluruh tumpukanmu. Pada saat itu tibalah bangkaimu akan terlihat nyata, sebab baunya sudah tercium sejak daun mulai jengah dan menguning akibat terik sang mentari. Lucu memang cara semesta menguak setiap misteri yang ada. Meski demikian, jangan coba-coba tuk menebak semesta kawan. Hanya ada perih tersembunyi di baliknya. Biarkan awan yang menangis, bukan dirimu.
Meski terik, itu tak menghentikan langkahku siang tadi. Sebab aku sadar, berdiam diri tak akan membawa perubahan. Perubahan hanya milik mereka yang ingin bergerak, bukan mereka yang ingin menikmati keterpurukan dengan berpasrah. Ku izinkan kedua kaki ini berkelana mencari tempat yang dapat membuatku lupa akan teriknya sang mentari yang sedang menari sendiri di atas. Sempat terbayang dalam benakku, sebuah tempat di tepi danau terdapat sebuah pohon yang cukup rindang untukku berteduh, meski daunnya tak hijau lagi. Di bawah pohon itu para peri angin hilir mudik mengantarkan pesanan angin ke timur, barat, dan juga selatan. Beberapa dari mereka terhenti sejenak dan serentak melihat ke arahku, seakan penuh tanya akan apa yang sedang kulakukan di bawah pohon tua ini. Kehadiranku tak mengusik peri-peri mungil itu, mereka kembali sibuk dengan angin pesanan mereka masing-masing. Terik matahari telah berhasil menambah pesanan mereka. Tak kuhiraukan mereka, kuambil sebatang rokok dan kuberi api yang tak kalah panas dengan terik sang mentari. Seketika beberapa peri menghampiriku dan mengatakan, "Pesananmu tuanku,"sungguh peka peri-peri ini pikirku. Betapa nikmatnya, hal kecil seperti duduk di bawah pohon tua dan menikmati sebatang rokok saat cuaca sedang membara seperti ini. Apakah dirimu setuju akan hal itu kawan? atau dirimu terlalu sibuk di dalam ruangan tertutup dengan topeng melekat erat sembari menikmati ac yang tersedia? Atau dirimu sedang sibuk memberi makan kawan-kawanmu yang jauh entah berantah atau bahkan tak nyata dengan mengiriminya foto makananmu? Betapa canggihnya zaman ini.
Tak apa, setiap orang punya kesibukannya masing-masing kawan. Setidaknya dirimu mau menemaniku bercengkrama bersama kali ini. Sampai mana tadi? Oh iya, sampai beberapa peri menghampiri. Danau sudah mulai menguning juga rupanya, tak sebersih dulu. Dedaunan kuning berjatuhan dan berhasil memenuhi keindahan danau yang seharusnya tampak jelas nan bening. Tapi itu tak menghalangi ikan-ikan tuk tetap berenang dan bermunculan di permukaan. Seketika itu danau ini mengingatkanku akan beberapa tingkah manusia yang ada di semesta ini. Tentang bagaimana kerasnya kepalsuan terus berusaha menutupi diri manusia dari sifat aslinya. Dan ikan pasti akan menampakkan diri kepermukaan.
Tak hanya ikan, beberapa serangga air ikut meramaikan danau tersebut. Entah menjadi peramai danau atau mungkin persediaan makanan mendekati musim dingin yang tak kunjung tiba untuk para ikan yang bersembunyi. Ternyata mereka hadir untuk menjadi pengihiburku di kesendirian. Betapa baiknya serangga-serangga itu, meski ajal akan menjemputnya sebentar lagi.
Tak berasa sang mentari kian memudar, mungkin ia lelah akan tariannya yang semakin terlihat kesepian di langit yang tak berawan ini. Betapa merindunya sang mentari akan kehadiran awan, meski ia tahu bahwa keegoisannya lah yang membuat awan tak ingin menampakkan diri lagi. Dan kini manusia semakin merindu akan tangisan sang awan.
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
BalasHapusDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny