Kusebut Ia Rindu



Tanah yang lembab menyapaku pagii ini, tak lupa sang embun tetap menari di bawah hamparan mentari. Deringan musik yang terlantun pada telingaku mengingatkan diriku kembali pada saat itu, sebuah kehangatan yang selalu hadir di sudut malam. Bukan, bukan karena kopi yang tersaji di hadapanku. Mungkin karena sosok yang menyeduhkannya, ia berhasil meneduhkan pikiran yang sedang melilit ini. Membawaku sejenak menari-nari pada ruang imajiku, membunuh tiap pikiran yang tak ingin kupikirkan, mudah. Entah, ia belajar mantra tersebut dari mana, atau mungkin sudah bawaannya seperti itu. Saat itu, lagu Hero yang dibawakan oleh Family of The Years memenuhi malamku, tepat seperti pagi ini. Hanya saja, tanpa sosok itu.

Tali sepatuku tak terikat, aku tak takut tersandung, karena aku percaya jatuh hanyalah takdir. Jika luka, ya obati. Tetap saja, aku tak berani berlari kencang pagi ini. Kasihan paru-paruku , ada banyak asap di dalamnya, mirip cerobong pembuangan asap pada kafe di daerah Dewi Sri. Sudah lama juga aku tak berlari, mungkin beberapa variasi lompatan akan indah jika dipadukan.

Aku pikir, lompatan-lompatanku akan memperingan tubuhku. Ternyata semuanya hanya sejenak. Aku terlalu terbawa suasana, aku bahkan tak melihat tempatku akan berpijak. Ada lubang kecil yang telah dipenuhi air, entah itu air apa. Sepatuku jadi kotor. Sebuah awalan yang buruk untuk kembali berolahraga. Tak apa, setidaknya aku tak berlari di tempat. Meski ujung aku mulai berlari sama dengan ujung aku berhenti. Aku hanya benci jika harus membersihkan kembali sepatu yang kotor ini. Bahkan talinya ikut kotor terkena genangan air tersebut. Mungkin aku tak cocok untuk berolahraga seperti ini.

Tak banyak orang di lapangan pagi ini, mungkin mereka sedang sibuk dengan pasangan masing-masing dan ditemani kopi hangat di antara mereka, berusaha tak mengusik dan hanya mengisi selingan obrolan masing-masing. Lapangan hanya terisi oleh mereka-mereka yang sedang berusaha mengisi kekosongan pagi, mungkin para penikmat umur tua dan para mahasiswa yang terjebak libur. Bagai perangkap saja, tapi lebih baik dari ibu-ibu yang berlarian dengan parfum berlebihan tiap sore hari.

Pandanganku tertuju pada seorang ibu penjual minuman, ia hanya bersenjatakan kresek plastik dan beberapa botol air mineral. Kupikir satu botol minumannya dapat meringankan nafasku sejenak,. Ya, separuh nafas yang telah hilang. Ibu tersebut begitu sabar menjual dagangannya, terselipkan ketegangan di matanya. Ya, ibu itu harus siap berlari membawa persenjataanya ketika para penegak berseragam berkeliaran di lapangan. Hidup memang tak jauh-jauh dari berlari, dan kini aku pun mulai berlari (lagi).

Aku tak suka berlari terlalu lama, aku takut esok tak mampu beranjak dari balutan selimut. Lebih baik sekedar lalu kembali tersenyum di malam hari untuk bercengrama dengan kawan-kawanku. Melupakan sejenak hati yang terkubur entah dimana kemarin kuletakkan. Begitulah manusia, pelupa. Setidaknya aku tak pernah lupa untuk bernafas, meski separuh.

Sudah lama tak bertemu dengan sosoknya, kuharap ia tetap menyeduh. Sehingga aku tetap bisa singgah sesekali. Setidaknya dapat duduk dan menikmati kopiku yang tak sehangat sebelumnya. Kali ini, menjadi tamu yang baik. Sebab lebih baik kopi daripada hati. Meski tanpa perbincangan, masih ada buku yang menemaniku. Mengobati kopi yang sudah semakin dingin ini. Aku teringat akan beberapa hal yang biasa kubincangkan dengannya, beberapa hal konyol tentang dunia ini. Tunggu dulu, kapan dunia ini tak konyol? Banyak juga ternyata perbincangan kami sebelumnya. Mungkin karena sebelumnya terlalu banyak hingga sekarang sudah kehabisan amunisi. Tak apa, aku sedang mencari kopi.

Aku takut termakan beberapa asumsi yang mulai hilir mudik pada benakku, mungkin karena bunga tidur yang kerap hadir. Wajahnya selalu muncul belakangan ini. Entahlah, mungkin karena perbincanganku dengan Tuhan tak seramai sebelumnya, ada nama yang sudah tak tersebut. Bukan, bukan karena aku sudah jengah untuk menyebutkan nama tersebut, hanya takut merusak apa yang sudah terikat di ujung sana. Sudahlah, daripada aku semakin tenggelam di teluk asumsi, lebih baik aku beranjak saja. Toh ia sudah bahagia kini, tak ada yang bisa dibanggakan dari pengangguran seperti diriku, bahkan menyeduh saja aku masih gagal.Terkadang hambar, seperti kisahku.

Mungkin ini yang disebut saatnya keluar dari zona nyaman. Meski aku tak tahu apakah aku pernah memasuki zona tersebut, atau mungkin sekedar menyentuhnya. Iri terkadang melihat mereka yang memiliki sesosok pendaming yang siap mendengar cerita aneh-aneh mereka tentang perjalanan yang mereka alami dari subuh hingga subuh lagi. Tak apa, biarkan tulisan ini saja yang menemaniku dulu. Mungkin nanti ada yang akan betah mendengarkan, sehingga aku tak perlu menulis lagi. Sial, tintaku habis. Ada yang punya tinta? TINTA BUKAN CINTA?!

Komentar

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts

Mata Jiwa

Cappuccino tanpa Cincau