Mata Jiwa



Ia hanya seorang gadis kecil yang singgah, tetapi sungguh heran diri ini dibuatnya. Bagaimana bisa seorang anak berumur 18 tahun sudah mengenakan pakaian yang sangat matching? Tak luput bibirnya dibaluri gincu warna merona. Tapi coba lihat itu, pipinya tak ikut merona, kontur wajahnya sungguh sempurna. Ia bukan lagi melukis di kanvas wajahnya, melainkan mendesain ulang wajahnya. Siapa yang akan mengira ia adalah gadis 18 tahun? 

Jika saja ia bukan teman dekat dari kawanku, sudah pasti aku kira ia sebaya denganku.

"Kopi susu karamelnya satu ya mbak, terima kasih." Lalu ia berjalan mendekat ke meja yang kami tempati.

Pasti ia sering mengikut paduan suara, betapa merdu suaranya. Kukira ini masih pagi, ternyata itu suara miliknya yang bagaikan kenari kecil. Betapa menakjubkannya persona yang ia tampilkan. Tetapi, tunggu dulu! Mata macam apa itu?

"Din, temen lu kenapa tuh? Dari tadi ngeliatin gue mulu."

"Ekhem, sorry-sorry. Aku kaget aja, tadi Dinda bilang adik kelasnya dulu mau gabung. Kupikir yang dateng malahan seumuran aku. Sedikit terpukau."

"Ah, kakak bisa aja. Emang kakak umur berapa? Sorry, kalau kurang sopan."

"Dia mah umur 23 na. Mukanya memang agak boros, kebanyakan mikirin orang sih," asal celetuk Dinda.

"Ngawur! Adanya mikirin tingkah lu tuh yang makin kekanak-kanakan kalau ngambek. Cari cowok sana biar engga ngerepotin gue mulu! Oh iya, gue Rendy," aku mengulurkan tanganku untuk mengajaknya bersalaman.

"Hana, sorry ya kak kalau kak Dinda sering ngerepotin. Aku lagi sibuk UAS soalnya."

Tak perlu waktu lama, hanya dengan sedikit obrolan kecil pesanan Hana sudah tiba. Sungguh 'Excellence Service' kafe ini. Dekorasi minimalis yang simple berhasil menghantarkan konsep Industrial sempurna. Sebatas plasteran yang memenuhi tampilan pada kafe ini berhasil menghantarkan cita-cita seseorang untuk membuka sebuah kafe dengan budget yang minim untuk dekorasi. Tata letak di kafe ini sungguh sempurna. Aku yakin pemiliknya lebih suka mengalokasikan uangnya untuk seorang arsitek daripada alokasi dana yang meledak pada dekorasi tanpa paham tata letak yang baik. Bahkan tata letak lampu sangat memanjakan indra penglihatan, tak lupa konsep lagu classic sebagai pemanis untuk indra pendengaran yang sudah kelelahan mendengar hiruk pikuk pusat kota.

Terlepas dari konsep, pandanganku tetap tak bisa lepas dari Hana. Ada sedikit keanehan yang kulihat pada dirinya. Kemasan yang ditampilkan sungguh menarik. Tetapi, mata tetaplah mata. Mata adalah jendela jiwa, gambaran dari setiap keputusan yang telah dilalui selama menapaki alur kehidupan.

Dinda dan Hana melepas beban pikiran masing-masing sembari menikmati minuman yang mereka pesan. Lelaki macam apa aku yang membiarkan meja ini tak terisi kudapan sama sekali? Terlalu sibuk memperhatikan raut wajah dan ekspresi badan mereka, aku sampai lupa kodratku sebagai lelaki.

"Santai ya, gue mau mesen cemilan. Obrolan kalian pasti bakal bikin laper."

"Siap!!" Giliran soal makanan aja, cepat sekali mereka serentak menjawab.

Tak perlu waktu lama untuk menuju bar dan memesan, kami sengaja memilih meja ketiga dari bar. Kami tak ingin terlalu dekat dengan banyak pelanggan lain. Sebagian besar pelanggan kafe ini lebih memilih untuk duduk agak jauh dari bar untuk mentertawakan kebijakan-kebijakan yang tak pernah bijak. Baguslah jika mereka sadar untuk tak mengganggu pengunjung lain dengan gelak tawa mereka. 

Terlihat sungguh diatur dengan baik bar di kafe ini. Sang arsitek pasti telah mengatur work flow sedemikian rupa, tak heran mereka dapat membuat banyak pesanan dengan waktu singkat. Bahkan tata letak kasir yang tidak menyatu namun tak terpisah dengan bar benar-benar diatur dengan baik. Menu makanan memiliki display simple yang tentunya langsung menarik perhatian pelanggan yang memesan. Tak perlu waktu lama, aku pun langsung menyadari kudapan apa yang cocok dengan mereka.

"Churros cokelat dengan saus keju susu ya mbak, terima kasih." Aku tak ingin mengganggu obrolan mereka, tetapi tetap saja mata Hana selalu membuatku semakin bertanya-tanya pada benakku. Aku memilih untuk berpura-pura kebingungan dengan apa yang harus kupesan sembari memperhatikan obrolan mereka dari jauh. Tak sampai hati bila aku harus mengganggu pertemuan mereka yang telah lama diberikan spasi oleh yang Maha Kuasa.

Betapa tertutur dengan baik sikap si Hana, berbeda drastis dengan si Dinda yang ceplas-ceplos kanan-kiri. Tetapi ada yang sedikit aneh, aku mengenal Dinda cukup lama. Segala yang ditampilkan Dinda adalah kenyataan, bukan peran yang harus dikemas dengan rapi. Berbeda dengan si Hana, mana mungkin ada gadis seumuran dia yang sangat sempurna. Aku ini lelaki yang telah bertemu banyak perempuan, berbagai kafe telah kusinggahi untuk bersungguh ingin berkenalan dengan orang baru. Tetapi yang seperti Hana? Ini sungguh kali pertama aku harus berperang dengan benakku sendiri, aku tak ingin pre-judge terhadapnya, apa lagi ia adalah teman dekat kawanku.

"WOE, LAMA LU!" Panggilan Dinda yang berhasil mengganggu diriku yang sedang berperang dengan pikiranku sendiri.

"Udah, ditunggu ya. Gue toilet dulu, sakit perut."

"Idih, bisa-bisanya kongkow tapi lupa buang dosa dulu di rumah! Sorry ya na, emang agak-agak tuh Rendy."

Hana hanya tertawa melihat tingkahku.

Komentar

Popular Posts

Cappuccino tanpa Cincau